2000 Curse

#LOOCALISM's 1st WRITING EVENT 
By Rizé Alzatte, in collaboration with Rayzel Alzatte & Ajisaka Wedanta.

Disclaimer: Cerita di bawah tidak berhubungan sama sekali dengan plot utama.

π

Di sofa, aku dan Genta sibuk berdebat mempertarungkan tempat mana yang akan kita kunjungi. Pada musim liburan ini, kami memang berencana untuk menghabiskannya bersama. Genta memiliki selera yang sangat mainstream. Kami tidak mencapai kesepakatan bahkan setelah hampir setengah jam mencari.

“Nah! Dapat!” ucapku sambil menunjuk-nunjuk salah satu artikel yang tampak di layar ponsel: “Nisen Castle adalah salah satu tempat paling misterius di daratan Jepang. Diluar lokasinya yang terpencil, ada rumor yang beredar bahwa siapapun yang nekat pergi ke sana tidak pernah kembali lagi.”

Kali ini, wajah Genta tampak berbinar-binar. Kami saling menatap bahagia, lalu memanggil kedua teman kami yang lain. Saking tak sabarnya, Genta menjelaskan isi lokasi itu dengan rinci kepada Rayzel. Tapi ekspresi Rayzel berkata lain. Rupanya, dia tidak ingin berkunjung kesana.

Di sisi lain, Danta hanya memperhatikan kami bertiga yang mulai heboh berdebat. Aku sangat ingin membuktikan kalimat bodoh itu. “Sekali masuk tak bisa keluar.” Akhirnya, Marheta mengangguk pasrah terhadap paksaanku. 

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

Karena letaknya yang jauh dari Tokyo, kami menempuh jalur laut yang panjang untuk ke sana. Sesampai kami di sana, angin laut dan suara ombak yang menerjang bebatuan sekitar istana menyambut kami. Nisen Castle konon katanya memiliki bilik rahasia sebanyak 2000 buah. Sesuai dengan namanya, Nisen yang berarti 2000 dalam bahasa Jepang.

Kami sempat kaget melihat betapa megah istana itu, walau tampak menua dengan tumbuhan liar dan lumut mengelilingi sebagian dinding luarnya. Suasana terasa aneh, sangat murung. Mungkin karena aku terlalu lama tinggal di ibukota yang penuh riung keramaian.

Genta mengawali langkahnya dahulu sembari menggandeng Rayzel. Melihat hal itu, aku dan Danta pun mengikuti jejak mereka berdua dari belakang. Saat itu, aku mulai merinding dan sedikit ketakutan.

Setelah melewati jembatan kayu, aku merasa sangat lega. Rasanya seluruh batangan yang kupijak bisa roboh kapan saja. Semua berjalan mulus sampai kami tiba di depan kastil raksasa. 

Rasanya seperti mimpi menyaksikan kastil itu dengan mata sendiri, aku pun mengambil beberapa jepretan foto sebagai kenang-kenangan saat kita kembali lagi. Kami masuk ke sana layaknya tamu yang bertamu, walau tampaknya tidak ada tanda kehidupan di sana.

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

Aneh, padahal saat itu masih siang. Entah kenapa, koridor di sana terasa sangat gelap dan mencekam. Langkah demi langkah, tiba-tiba Rayzel terdiam sembari melihat sekelilingnya. “Nande?” tanyaku. Rayzel meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja, dan kita melanjutkan perjalanan.

Genta menyadari aku dan yang lain sedang berjalan dengan ketakutan. Ah, aku sangat membencinya karena sifatnya yang suka mengejek itu. Saat dia bersandar di dinding dekat kami, lapisan betonnya bergetar dan bergeser. Dia cepat-cepat berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya.

“Makanya, jangan suka sombong! Kualat, kan.” Ledekanku terhenti saat beton itu terbuka. Kami berempat dilanda rasa penasaran, lalu mencoba menganalisa. Kriet, terdengar suara seakan ada sesuatu yang digeser. 

Lapisan besi terbuka, lagi-lagi Genta tampak seperti tidak punya rasa takut. Dia langsung berjalan masuk tanpa aba-aba. Kami bertiga lagi-lagi hanya bisa mengikuti jejaknya.

“Halo,” ucapku. Suaraku bergaung di sekeliling ruangan yang pengap itu. Dibantu dengan flashlight dari ponsel kami masing-masing, kami melewati lorong dan jembatan yang terhubung dengan ruangan tadi. 

“Nande” berarti “Kenapa?” dalam bahasa Jepang
                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

Danta memutar sebuah lingkaran batu, tak jauh dari tempat kami berjalan. Tak lama setelah lanjut berjalan, kami bertemu dengan jeruji besi aneh. Kami saling bertatap mata, mengode untuk mencari clue lain di sekitar. Saat aku menengok ke arah Rayzel, dia terlihat seperti menemukan sesuatu.

“Iri, dengki, bohong, peduli, naif, jujur.
Semua seimbang, tak bisa berat sebelah.
Angka pertama bisa saja benar,
namun angka terakhir juga tidak salah.
Kegelapan itu juga salah,
tapi cahaya belum tentu benar.”

Kalimat yang diucapkan Rayzel adalah satu-satunya suara di situ, membuat aku, Danta, dan Genta fokus mendengarkan. “Apa ini? Sebuah petunjuk untuk apa?” Karena bingung, aku bertanya. Mereka tampak sibuk berpikir sampai Danta membuka mulut.

Danta menunjuk-nunjuk sebuah lubang yang berada di depan jeruji besi dengan pintu kayu tadi. Pintu itu aneh, tampak miring. Rayzel mengusulkan kita untuk menyeimbangkannya, karena dengan begitu pintu tersebut akan sesuai dengan kalimat tadi.

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

Setelah aku bertanya bagaimana caranya, mata kami bertiga otomatis melirik ke arah Genta yang tengah mengisi lubang dengan batu-batuan. Semua batu di dekat kami sudah habis, tapi lubang itu masih saja belum seimbang.

Aku memutuskan untuk nekat berdiri di atas tumpukan batu tadi. Ternyata, ideku berhasil. Mereka bertiga mengikuti cara yang sama. Jeruji besi tadi terangkat, dan kami berhasil masuk ke dalamnya. 

Satu masalah selesai, kini kami harus melalui masalah lain lagi. Tepat di hadapan kami berempat, terdapat empat pintu mencurigakan. Karena jeruji tadi terbuka dengan bantuan berat badan kami berempat, tidak ada cara lain lagi untuk keluar dari sana selain memilih satu dari empat pintu tersebut.

Setelah dicermati baik-baik, Danta menyadari bahwa keempat pintu tersebut memiliki angka. Dua di antaranya bercahaya, dua lainnya ditutupi kegelapan. Sementara Rayzel dan Danta sibuk berpikir pintu mana yang selamat, aku dan Genta melihat sekeliling.

“Sesuatu terasa ... aneh di sini,” batinku. Gerak lenganku yang ingin menyentuh beton kumuh yang mengelilingi kami terhenti karena teriakan Danta yang menyuruh kami mengikuti langkahnya, memasuki pintu ketiga. 

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

Sesaat setelah kami berempat masuk melalui pintu itu, terdengar suara gesekan tulang sembari kami menapak lantai. Merasa ragu, aku mengarahkan senter ponsel ke bawah. Kakiku terasa lemas sekali setelah mengetahui bahwa aku menginjakkan kaki di salah satu tengkorak manusia.

Detak jantungku makin cepat, berbarengan dengan keringat dingin yang mengucur dari tubuhku. “Apapun yang terjadi, aku harus selamat dari tempat ini.” Aku hanya bisa meyakinkan diriku dan berusaha untuk tetap positif, meskipun tak banyak harapan yang kami berempat miliki.

Suara Danta memecah kepanikanku saat dia membaca suatu potongan kalimat. “Para penguasa tidak menginginkan darah murni. Semua kemuliaan ada pada mereka yang berdarah kotor.”

Aku bisa merasakan sebagian tubuhku mati rasa mendengar kalimat mengerikan itu. “Kita harus segera keluar,” pintaku. 

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

“1999 dari 2000. Kamar terakhir bagi orang tak beruntung dan pilih 4 atau 4-1.”

“Rayzel!” Satu anak panah melesat dan melukai lengan Rayzel. Gawat. Di titik itu, aku mulai pesimis bisa keluar dengan selamat. Ternyata, kami memasuki ruangan dengan berbagai jebakan. 

Walau kami bisa menghindari kebanyakan, tak sedikit pula benda tajam yang meluncur dan melukai kulit kami. Setelah melewati sesi menyakitkan tadi, kami terhenti di depan podium batu dan mendapat potongan kalimat lagi.

“Satu nyawa datang sukarela. Yang terujung dari ribuan tempat singgah, paling kelam, tapi itu akhirnya.”

Kami saling menatap dengan wajah pucat, lalu perlahan melanjutkan perjalanan di kastil terkutuk ini. Di satu tempat, obor-obor di sekitar kami membara dengan sendirinya. Tanganku bergetar tak karuan setelah melihat apa yang kami temukan.

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

Aku menutup mulutku agar tidak berteriak saat itu juga. Kakiku mati rasa, bahkan aku tak dapat berdiri dengan benar. Tubuh-tubuh tak bernyawa, potongan tulang-tulang, organ tubuh yang membusuk, dan benda tajam tergeletak bebas. 

Saat aku perlahan mundur, sebuah tangan menepuk pundakku. Saat aku berbalik, ketiga temanku juga melakukan hal yang sama. Pria paruh baya yang tampak tak terawat, memegang gergaji listrik di depan kami.

Telingaku berdenging kencang, seperti akan meledak saat itu juga. Ketakutan menguasai sekujur badanku. Tak jelas apa yang mereka bicarakan, namun pria itu tampak tersenyum menakutkan.

“... Aku ingin keluar dan kalian kuncinya.” Itu adalah satu-satunya hal terakhir yang kudengar, sebelum pria sinting tadi menyalakan gergaji listriknya dan bersiap menyerang aku dan Rayzel.

Mataku refleks tertutup. Saat aku membuka mata, Genta melindungi kami berdua dengan tongkat besi yang pasti habis terpotong oleh gergaji listrik itu. “Kalian harus pergi, cepatlah!” teriak Genta tanpa menoleh ke arah kami.

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

“GENTA!” Aku tak sanggup melihat temanku menjemput ajalnya di depan mataku sendiri. “PERGI SEKARANG JUGA!” teriak Genta. Tubuhku sontak ingin berjalan ke arah Genta, tetapi Danta menarik aku dan Rayzel untuk pergi dari sana.

Perasaan takut, sakit, sedih, semuanya bercampur-aduk tak karuan. Entah apa yang harus aku pikirkan, melihat kami akan keluar tanpa Genta di sana yang akan terbunuh. Dua pintu lagi-lagi kami temukan. Tak lama, Rayzel menyambar pintu bertulis angka 4-1.

Setelah berlari tergesa-gesa, kami menghirup udara bebas. Kedua mataku tak bisa lepas dari kastil tadi. “Genta masih di dalam sana, aku harus menyelamatkannya,” batinku. Kami berpencar untuk mencari bantuan.

Sirine berbunyi dari arah seberang. Beberapa lelaki gagah berjalan ke arah kami, salah satunya adalah kakak Genta. “Genta ... Genta masih di dalam! Tolong selamatkan dia, aku mohon,” ucapku dengan nyaring. Mereka bergegas masuk dari pintu yang sudah koyak hancur tadi.

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

Aku sangat risau menunggu, berharap Genta akan datang dan menyapa kami dengan keadaan selamat. Satu jam kemudian, dua kantung mayat mereka bawa keluar. Air mata mengucur dari kedua mataku, setelah mengetahui salah satunya adalah mayat Genta.

Sesaat sebelum aku melangkah menuju mayatnya, seorang kakek tua dengan pakaian yang terlihat sangat tradisional datang di tempat itu. “Kutukan 2000, ya? Selesai juga,” ujar tetua itu. 

Rasanya seperti aku baru saja mengalami mimpi buruk, mimpi yang sangat buruk. Aku hanya bisa bersyukur bisa kembali dengan selamat.

Kami pulang dengan kapal kepolisian setempat. Aku tahu apa yang dirasakan oleh kakak Genta. Kehilangan orang yang disayangi bukanlah hal yang mudah. Aku mengucapkan selamat tinggal dan selamat berduka cita kepadanya sebelum pulang.

                ✦  ✧  ✦  ✧  ✦  ✧

“Konon para keturunan raja itu percaya, kalau dengan mengorbankan 2000 jiwa darah campuran akan menghasilkan keberuntungan untuk mereka. Jika ritual dimulai dan 2000 jiwa tidak selesai maka yang memulai akan terjebak sampai mereka bisa memenuhi ritual itu.”

“Ah, Genta. Aku menyesal menyebut seleramu itu mainstream. Terimakasih, dan maaf. Kita gak akan ketemu lagi.” batinku. Tak pernah aku menyangka akan kehilangan seorang sahabat saat kami berlibur bersama. Kami pergi, meninggalkan Genta yang berkorban.

Cerita di atas ditemukan bersama foto kastil Nisen di salah satu halaman buku harian Rizé, ditulis pada 4 Mei 2018.

Komentar